Toponimi Jangari

Bapak Dinda membawaku ke kamar Dinda. Benar saja. Dia terbaring pucat. Dikelilingi orang-orang berjubah hitam… mungkin malaikat maut… yang hendak menjemputnya. Aku mendekat. Menggenggam tangannya. Karena aku telah memberikan mas kawin yang lebih mahal dari berpetak-petak sawah. Nyawaku sendiri.

Sesampainya di rumah, Bapak Dinda menyuruhku duduk di ruang tamu beralaskan karpet merah. Tak ada kursi-kursi mahal. Semua warga desa lebih suka duduk bersama di lantai. Sepuluh menit berlalu… Tak ada tanda-tanda Dinda.

Aku begitu merindukannya. Bahkan sekarang… saat aku memancing… aku tahu Dinda tak akan ada di sana. Sejak ibunya meninggal… Dinda dan bapaknya menutup diri… tak mau lagi beramah tamah.

isa bicara, semua warga sepakat mengatakan… aku anak yang ditemukan di kaki gunung Dingdinghari. Begitulah akhirnya aku diberi nama: Ari. Tanpa makna dalam, tanpa sejarah panjang. Aku tahu, melihat aku tumbuh tanpa ayah dan ibu, Bapak Dinda pasti tak akan mau menyerahkan anak gadisnya… yang dia jaga bagai bibit padi berharga… kepada pemuda miskin sepertiku.