PROBLEMATIKA UU SUMBAR BAGI MASYARAKAT MENTAWAI !!!
Rean Fahmi
Pada tanggal 25 Juli 2022, presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat.
Akan tetapi yang menjadi polemik setelah disahkan undang-undang ini hingga sekarang adalah pada Pasal 5 huruf (c) tentang karakteristik Provinsi Sumatera Barat yang berbunyi “Adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara', syara' basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat”.
Kabupaten Kepulauan Mentawai yang didiami oleh masyarakat adat suku mentawai memiliki identitas dan karakteristik yang berbeda dari suku lain yang ada di Sumatera Barat.
Suku Mentawai memiliki kekayaan sejarah, salah satunya sebagai suku tertua di dunia (ditemukan dan diyakini oleh para peneliti). Ritual dan upacara adat yang dipimpin oleh sikerei yang juga memiliki pengetahuan dan keahlian dalam mengobati secara tradisional, yang mana dalam ritual tersebut ada hewan ternak ayam dan babi juga daun-daunan sebagai media ritual. Bentuk tradisi dan ritual yang masih ada di tengah masyarakat suku Mentawai salah satunya ritual liat pulaggajat (pesta adat lokal desa). Tradisi merajah tubuh atau titi (tato) tradisional mentawai yang juga dikenal sebagai tato tertua di dunia, bahkan ditetapkan oleh unesco sebagai Warisan Budaya Tak Benda (2014) dari Indonesia.
Semua itu adalah identitas dan karakteristik mayarakat adat Mentawai yang masih terjaga sampai saat ini dan sangat berbeda untuk menjalankan Pasal 5 huruf( c) dalam undang-undang Provinsi Sumatera Barat.
Lantas, apakah benar negara melindungi, menghormati, dan memenuhi hak - hak masyarakat adat Mentawai?