Apakah benar tidak ada makan siang yang benar-benar gratis? Dalam episode ini, kita akan menyelami kebijakan makan siang gratis melalui lensa teori kritis Max Horkheimer, seorang pemikir terkemuka dari Mazhab Frankfurt. Horkheimer berargumen bahwa masyarakat modern sering kali dibentuk oleh kekuatan ekonomi dan politik yang tersembunyi di balik ideologi budaya sehari-hari. Lebih lanjut, kita akan mengulas bagaimana kebijakan "makan siang gratis" sebenarnya dapat berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang halus. Apakah ada dampaknya terhadap kemampuan kita untuk berpikir kritis dan mandiri? Bagaimana kapitalisme memanfaatkan "gratisan" untuk mempertahankan hegemoni dan memengaruhi perilaku konsumen? Dengarkan perbincangan kita untuk memahami bagaimana teori Horkheimer dapat mengungkap lapisan-lapisan tersembunyi di balik kebijakan makan siang gratis!

Episode kali ini, berangkat dari pertanyaan; bagaimana prekarisasi mempengaruhi stabilitas pekerjaan, kesehatan mental, dan keamanan sosial kita? Kita juga akan membahas peran media sosial dan platform digital dalam memperburuk atau membantu mengatasi kondisi ini. Selain itu, Teori dari Isabell Lorey akan mempertajam pandangan kita tentang bagaimana peran sebagai individu dan masyarakat dalam menghadapi prekariasi.

I know, it feels like ages! pokoknya kali ini bahas duka. Karena seseorang pernah mengatakan bahwa duka itu tak memiliki batas waktu, jadi mengapa harus disudahi dengan terburu-buru? bukankah terasa sangat menyakitkan bagi yang ditinggalkan?

Nasihat untuk menjadi manusia yang mulia; yang mengetahui baik-buruk dan bermurah hati.

Dalam setiap tetes hujan yang berjatuhan, Rerumputan basah, langit yang teduh, dan membiru Menyapa bumi dengan harum setelahnya. Di setiap detik, di setiap jengkal, Hati terhanyut dalam pelukan erat. Tersirami bumi dengan kasih yang tulus. Di antara dedaunan yang merindukan pelukan. Kamu menanyakan mengapa aku menyukaimu Sepasang rasa, lantas merayakan senyuman. Di atas bibir-bibir yang sedang menari, Di dalam nyanyian keabadian, dan Petrichor memenuhi ruang. Di antara bayangan yang merindukan cahayanya. Di antara rintik hujan yang mengalun, Kini aroma petrichor menyapa dalam senyum, menyebarkan harum yang menawan, Dan menjadi bukti cinta yang tinggi membumi.

Hujan bersamaan datang dengan badai yang kencang, kilat yang menyambar membakar kulitku. Seketika, ingatan sepanjang hidup menjadi singkat. Dasar bodoh! Adalah kata yang paling nyaring terdengar. Kehendak, sudah ditentukan dari sebelum bumi ini ada. Tapi penyesalan datang setelah pemaksaan itu dilakukan. Murka, amarah, dan segalanya menyatu menjadi penuh kebencian. Apakah badai pasti berlalu? Bagaimana jika tidak? Tidak mungkin memaksa ikan hidup di darat, atau memaksa sapi hidup di laut. Semua ada porsinya masing-masing, tidak berlebihan, cukup pada tempatnya. Lantas mengapa kamu datang dengan kekhawatiran akan musibah yang aku rasakan. Tidakkah kamu cukup untuk membiarkan aku sendiri, seperti sebelumnya.

Bersamaan dengan tertiupnya angin barat, Hujan datang mengakhiri kemarau. Bukan berarti hujan membenci kemarau, Hanya saja kemarau sudah kehilangan waktu, kering, dan asing. Aku tidak menyalahkan hujan, Tidak pula membenci kemarau. Kemarau telah pergi, Dengan persepsi aku membencinya. Kalau saja kemarau datang kembali, Walaupun kecil berharap. Atau jika kemarau masih menyimpan dendam, Kubiarkan asing satu sama lain.

Hujan yang turun tanpa awan, Membasahi bumi yang tandus kering. Mungkin engkau fatamorgana Untukku yang berharap itu air. Hujan yang kini tanpa awan, Masihkah berharap kedatangan awan. Senang merasakan basahnya air, Sampai takut hujan akan berhenti turun. Apakah petani akan marah, karena hujan terus-menerus membasahi ladangnya. Khawatir ladangnya busuk terlalu banyak air. Atau petani senang, karena hujan membantu menyuburkan tanahnya. Hujan, mungkin hujan membenciku karena terlalu berlebihan menginginkannya. Rasanya hujan tetap dingin tak memberi ruang untuk kehangatan. Hujan, apakah kamu akan membiarkan tanah ini tandus kering seperti sebelumnya. Atau apakah hujan akan berhenti hari ini.

Kali ini, kita akan membahas bagaimana konsep "membunuh manusia" dalam arti sebenarnya yang bukan tindakan fisik, melainkan perubahan paradigma. Membunuh manusia adalah perjalanan menuju pemahaman yang lebih luas tentang keseimbangan alam semesta dan bagaimana kita dapat berinteraksi dengan alam dan sesama manusia dengan lebih baik melalui perenungan filosofis. Selamat mendengarkan.

Lagi-lagi bahasan yang santai. Kali ini, kami akan berbagi kisah tentang ketidakmampuan mengahadapi perkalian matematika dasar, hukuman konyol yang pernah kami alami, dan tentu saja, kekhawatiran teman kami yang takut dicepuin.