<p>“Kenapa nggak lo deketin nyokapnya Kanaya dulu aja? Maksud gue… Om Mahesa kan orangnya kaku, tuh. Paling benar lo deketin pawangnya. Kalau udah pawangnya oke, gue yakin soal bujuk-membujuk Tante Sasi paling jagonya.”</p><p>“Saran lo makin ke sini makin menyesatkan, ya!” Caraka lantas bangkit dari duduknya. “Gue cabut dulu.”</p>

<p></p><p>“Saya ingin membatalkan kesepakatan itu, Om.” Caraka menelan ludahnya dengan susah payah, wajahnya tertunduk. “Saya... menyukai Kanaya.”</p>

<p></p><p>“Menikah itu nggak serta-merta ajakan ‘ayo nikah’ doang. Tapi kalau soal prioritas, kamu adalah prioritas utamaku. Hanya saja untuk menikah… perlu dipikirkan matang-matang, Nay. Karena pernikahan itu untuk seumur hidup nantinya. Ditambah dengan hubungan kita yang baru terjalin selama dua bulan. Apa nggak terlalu cepat?”</p>

<p>“Gue suka sama lo, Car. Gue tahu kalau momennya sekarang nggak tepat banget. Tapi gue serius sama lo. Gue tahu kalau gue nggak sebanding dengan cewek lo, tapi Car, lo bisa pertimbangkan perasaan gue?”</p><p>Caraka terdiam selama beberapa saat. Terlalu terkejut dengan pernyataan Inez yang tiba-tiba. “Nez, selama ini gue udah anggap lo—”</p>

<p></p><p>“Kamu bahkan belum memulainya. Jangan pesimis gini dong, Sayang. Setidaknya kamu harus mencobanya dulu, baru setelah itu kamu akan tahu apakah kamu mampu atau tidak.”</p><p></p><p>Kanaya menghela napas panjang. “Aku takut mengecewakan Papi, Car.”</p>

<p></p><p>“Kalau semisal… aku jatuh cinta sama Caraka, tapi dia bukan berasal dari keluarga yang berada seperti yang Oma Citra mau, Mami bakalan gimana? Mami akan bersikap seperti Oma Citra atau—”</p><p>“Mana yang bikin kamu bahagia, Sayang?” potong Sasi dengan cepat. “Maksud Mami apakah kamu bahagia dengan pilihan kamu yaitu Caraka?”</p>

<p>Caraka tersenyum. Antara ia ingin merasa bahagia atau justru sebaliknya. “Wanna know the truth?”</p><p>“What?”</p><p>“Aku udah lama banget naksir sama kamu. Tapi aku nggak pernah punya nyali buat nyatain cinta sama kamu.”</p>

<p>“Benar ini dengan Kanaya?” Suara berat seorang perempuan terdengar menggaung di telinga Kanaya.</p><p>Kanaya mengerutkan keningnya. “Iya, benar. Ini Kanaya. Maaf ini dengan siapa, ya?”</p><p>“Saya Tyas. Ibunya Caraka. Apakah kita bisa bertemu sebentar? Ada yang ingin Ibu bicarakan dengan Kanaya.”</p>

<p></p><p></p><p>“Istigfar, Bang. Istighfar!” Tyas ikut meluruh ke lantai seiring dengan tangisnya yang pecah dalam sekejap. “Udah, Bang… udah…”</p><p>“Aku kangen Anesha, Bu,” ujar Caraka dengan suara serak dan bibirnya yang bergetar. “Aku belum sempat minta maaf sama dia, Bu. Seharusnya aku memeluknya saat itu. Bukan memintanya pergi untuk selama-lamanya.”</p>

<p>“Lo akan tetap jadi pengecut selamanya, Brengsek!” Davendra menyeringai. “Anesha mati gara-gara lo! Dan lo seharusnya tahu di mana tempat lo seharusnya!”</p><p>“Dia pergi bukan gara-gara gue.” Napas Caraka tersengal-sengal. Memukul Davendra sekali lagi. “Tapi karena kelakuan biadab lo, dia memilih mengakhiri hidupnya, Bangsat!”</p>