Noice Logo
Buka app
Go Back
Radio Seila FM
Play Content

Radio Seila FM

215 EPISODE · 10 SUBSCRIBERS

Menyajikan sederetan program unggulan on air

Subscribe
Episode
Terbaru
See More

29 September 2023

vip iconcoin icon

0 Coin

Kisah Taubat Sastrawan Lekra/PKI

Kisah Taubat Sastrawan Lekra/PKI

Radio Seila FM

Namanya Saleh Iskandar Poeradisastra, sering disingkat S.I Poeradisastra. Ia punya nama lain, Boejoeng Saleh. Nama ini, di kalangan seniman pada masa lalu, cukup dikenal. Ia disebut sebagai sastrawan berideologi Marxis-Komunis. Sebagaimana seniman dan sastrawan berideologi kiri lainnya seperti Pramoedya Ananta Toer dan Utuy Tatang Sontani. Boejoeng Saleh yang lahir di Jakarta pada 25 Desember 1923 aktif dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang menjadi underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Yang menjadi unik dari perjalanan hidupnya, dia salah satu dari ketiga sastrawan kiri (Pramudya Ananta toer dan Utuy Sontani) memiliki akhir hidup yang mengesankan. Sebelum wafat, Utuy berwasiat jenazahnya diurus cara Islam. Pram, panggilan Pramoedya Ananta Toer, mengirim putrinya untuk belajar pada Buya Hamka. Bahkan ia memuji kehebatan tauhid ulama asal Minangkabau tersebut. Sementara Boejoeng Saleh, bertaubat sebelum wafat dan dekat dengan tokoh-tokoh Islam di akhir hayat. Kisah pertaubatan Boejong Saleh dapat dibaca dalam buku “Mengenang Hidup Orang Lain” karya sastrawan terkenal Ajip Rosidi. Di buku itu, Ajip menceritakan ketiga sosok sastrawan dan seniman kiri di atas. Uniknya, baik Pram, Utuy, dan Boejoeng, seperti diceritakan Ajip, pernah merasakan kesulitan ekonomi, sebelum akhirnya ‘direkrut’ oleh Lekra/PKI. Pram bahkan pernah mengetuk pintu rumah Ajip hanya sekadar untuk minta sesuap nasi, karena sudah beberapa hari tidak makan. Dan, ketiganya, di akhir hayatnya terlihat luntur bahkan hilang kekiri-kiriannya. Kembali kepada S.I Poeradisastra alias Boejoeng Saleh. Sebagai seniman Lekra ia pernah bertugas mengajar di Moskwa Rusia. Sepulang dari negeri komunis itu, ia diangkat jadi Sekjend Baperki (Badan Permusyawaratan Kebudayaan Indonesia), organisasi yang didirikan oleh Siau Giok Tjan yang berideologi kiri. Setelah itu, Boejoeng dibuang ke Pulau Buru. Di Pulau Buru inilah, kata Ajip Rosidi, Boejoeng mendapatkan hidayah dari Allah. Melalui bimbingan seorang dai yang ditugaskan di pulau itu, Boejoeng akhirnya kembali menjadi muslim dan terlihat taat dalam beribadah. Sebelumnya, di tahun 50-an, kenang Ajip, sastrawan Aoh K. Hadimadja pernah bertanya kepada Boejoeng, “Sebagai Marxis apa saudara percaya akan adanya Tuhan atau tidak?”

Play Content
6 Menit
CheckAdd to QueueDownload

26 September 2023

vip iconcoin icon

0 Coin

Shalawat Badar, Jalan Jihad Ulama Jawa Melawan PKI

Shalawat Badar, Jalan Jihad Ulama Jawa Melawan PKI

Radio Seila FM

“Tajuk Rasil” Selasa, 11 Rabiul Awwal 1445 H/ 26 September 2023 *Shalawat Badar, Jalan Jihad Ulama Jawa Melawan PKI* _Artikel Republika, Oleh: Andrian Saputra_ Dalam torehan sejarah bangsa ini, kepopuleran shalawat Badar tergolong fenomenal. Shalawat ini tak hanya dilafazkan oleh jamaah masjid. Para ulama, aktivis, dan politisi pun mengumandangkan syair tersebut saat melawan komunisme hingga pada era reformasi. KH Ali Manshur Siddiq merupakan sosok di balik terciptanya shalawat Badar. Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin Nahdlatul Ulama (PP Lesbumi NU) KH Muhammad Jadul Maula mengatakan, dalam sebuah catatan abjad pegon, Kiai Ali Manshur menuliskan, shalawat Badar ditulis sekitar 1962 atau setelah Dekrit Presiden 1959 dan menjelang upaya kudeta G-30-S PKI alias Gestapu. Menurut Kiai Jadul Maula, Kiai Ali Manshur merasa gelisah dengan situasi umat dan kebangsaan pada era tersebut. Dia pun ingin menulis shalawat itu sebagai doa. Pada catatan itu, Kiai Ali Manshur mengatakan, pada malam Jumat tetangganya bermimpi didatangi sekelompok orang berjubah putih. Bersamaan dengan itu, istrinya, yakni Nyai Khotimah, bercerita mimpi melihat Kiai Ali Manshur berangkulan dengan Rasulullah ﷺ. Kiai Ali Manshur pun mendapat penjelasan dari Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi bahwa orang-orang berjubah itu adalah Ahlul Badr (para sahabat Nabi yang bertempur di Perang Badar). Dari situ, Kiai Ali menulis shalawat dan menamainya shalawat Badar. Shalawat Badar kemudian dibacakan Kiai Ali Manshur di hadapan pamannya, yakni KH Ahmad Qusyairi, dan para muridnya. Beberapa waktu kemudian, para habib yang dipimpin Habib Ali bin Abdurahman al-Habsyi Kwitang datang menemuinya untuk mendiskusikan tetang situasi kebangsaan. Di tengah diskusi, Habib Ali Kwitang meminta Kiai Ali Manshur membacakan shalawat Badar. Para habib yang bertamu pun mendengarkan, mengaminkan, meluapkan rasa haru. Saat itu, Habib Ali Kwitang mengajak agar shalawat Badar dipopulerkan sehingga dapat menyaingi lagu "Genjer-Genjer" yang dipopulerkan PKI. KH Ali Manshur kemudian diundang ke Jakarta untuk membacakan Shalawat Badar di hadapan jamaah. Habib Ali segera menginstruksikan murid-muridnya mencatat Shalawat Badar, mencetak, dan memperbanyak untuk di sebarkan ke berbagai daerah. "Shalawat Badar diciptakan mengiringi keprihatinan kebangsaan, nasib rakyat, umat di tengah situasi tahun 60-an. Komunis menggunakan kebudayaan melalui seni rakyat untuk mengusung tema komunisme yang bersitegang dengan kiai-kiai. Atas situasi itulah shalawat Badar tercipta," kata Kiai Jadul Maula. Hubungan NU dan PKI begitu memanas pada era 1960-an. Terlebih, banyak para kiai NU yang mendapatkan perlakukan kekerasan karena menentang ideologi PKI serta menolak upaya paksa perampasan tanah-tanah wakaf umat untuk pesantren dan masjid, atau lembaga pendidikan Islam oleh PKI. Sejarawan Islam yang juga rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah Kencong, Jember, Rizal Mumazziq, mengatakan, sebelum peristiwa Gerakan 30 September (Gestapu) bentrok antara NU dan PKI sering terjadi di sejumlah daerah. Misalnya saja di Surabaya, pada 1960-an PKI melalui Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia menyerobot tanah milik Muslimat NU yang bertujuan untuk wakaf Yayasan Khadijah. Menurut Gus Rijal, PKI menginginkan agar tanah-tanah wakaf yang dimiliki pesantren atau kiai itu harus dibagikan secara merata bagi para rakyat atau Barisan Tani Indonesia. Patok-patok yang dipasang pemuda rakyat dan BTI itu pun menyulut kemarahan para santri, terutama Banser hingga berujung bentrok. Penistaan terhadap agama Islam juga dilakukan PKI untuk memancing kemarahan warga Nahdliyin. Di Jember, misalnya, di tengah istighatsah dan pembacaan shalawat Badar oleh para santri dan GP Ansor, tak jauh dari lokasi, para anggota PKI justru menggelar parade nyanyian seni dan drama yang menyinggung umat Islam. Di antara drama yang ditampilkan berjudul "Matine Gusti Allah", "Malaikat Kawin", dan "Haji Bahrum" sebagai .........

Play Content
8 Menit
CheckAdd to QueueDownload

25 September 2023

vip iconcoin icon

0 Coin

Masjid Al-Aqsa

Masjid Al-Aqsa

Radio Seila FM

“Tajuk Rasil” Senin, 10 Rabiul Awwal 1445 H/ 25 September 2023 *Masjid Al-Aqsa* _Artikel Harian Republika edisi 09 Juni 2011. Oleh: Prof Azyumardi Azra (1955-2022), cendekiawan Muslim._ Mengelilingi masjid yang pernah menjadi kiblat pertama kaum Muslimin dalam shalat, yang menyelinap dalam pikiran dan perasaan adalah kekaguman terhadap arsitekturnya yang unik. Dibangun jauh sebelum adanya semen, masjid ini terdiri atas kubus batu-batu besar, yang entah bagaimana dulu mereka mengangkat dan menyusunnya sehingga sangat kokoh. Bangunan masjid tidak hanya terdiri atas satu lantai dasar, tetapi juga mencakup lantai bawah tanah dengan beberapa ruangan masjid, termasuk ruangan yang dipercayai sebagai tempat Nabi Muhammadﷺ mengimami para nabi lain sebelum Mikraj. Arsitektur yang sama juga terlihat pada Masjid Qubbah al-Sakhrah, yang mencakup ruang gua yang dilindungi batu menggantung seperti kubah. Inilah tempat yang dipercayai sebagai titik Rasulullah bertolak melakukan Mikraj; kini ada lubang dengan bau wangi yang tersisa di tangan peziarah yang memasukkan tangannya mengingatkan peziarah pada Hajar Aswad di Masjid al-Haram. Juga ada kesyahduan rohani yang dalam ketika membayangkan Rasulullah melakukan Mikraj berangkat dari Masjid al-Aqsa ini. Inilah perjalanan menuju pusat eksistensial yang menggambarkan berbagai pengalaman anak manusia dalam kehidupan masing-masing. Berkeliling ke berbagai bagian Masjid al-Aqsa dan Qubbah al-Sakhrah, kawasan Kota Tua Yerusalem, tempat kedua bangunan historis ini berdiri adalah oasis keislaman dan sekaligus eksistensial bagi kaum Muslimin Palestina. Bagi kaum Muslimin di seluruh dunia, Masjid al-Aqsa adalah tempat suci ketiga setelah Masjid al-Haram di Makkah dan Masjid al-Nabawi di Madinah. Karena itu, ia juga menjadi tumpuan ziarah, termasuk dari Indonesia yang datang dalam jumlah kian banyak—memadukannya dengan perjalanan umrah. Muhammad Majid, warga Palestina, pemandu wisata rohaniah yang menemani berkeliling, bercerita banyak tentang kesulitan hidup di Kota Tua Yerusalem. Warga Palestina merupakan ‘penduduk tetap’—bukan warga negara Israel seperti warga Arab Palestina yang tinggal di wilayah utama Israel. Sebagian mereka memiliki paspor Yordania, yang juga kian sulit mereka peroleh. Warga Palestina di Yerusalem hampir tidak bisa lagi berhubungan dengan mereka yang tinggal di wilayah Tepi Barat; mereka terkepung tembok tinggi yang dibangun penguasa Israel, yang merupakan semacam ‘Tembok Berlin’; atau dalam istilah mantan presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter, ‘simbol politik apartheid’ Israel. Mereka yang tinggal di wilayah Tepi Barat sangat sulit masuk ke Kota Tua Yerusalem, terutama untuk menjual hasil pertanian, komoditas, dan produk lain serta mencari nafkah dalam sektor konstruksi dan pekerjaan kasar lainnya. Akibatnya, kondisi ekonomi bangsa Palestina di Tepi Barat kian sulit dari hari ke hari.......

Play Content
7 Menit
CheckAdd to QueueDownload
Buka semua fitur dengan download aplikasi Noice
Kunjungi App