Noice Logo
Masuk

“Tafsir” Pancasila dan Rekonsiliasi Nasional

9 Menit

“Tafsir” Pancasila dan Rekonsiliasi Nasional

5 Oktober 2023

“Tafsir” Pancasila dan Rekonsiliasi Nasional Artikel Hidayatullah.com, Oleh: Kholili Hasib (Aktivis muda NU, doktor bidang Akidah dan Filsafat Islam) Pada 21 Desember 1983, Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Situbondo, Jawa Timur, memutuskan satu poin penting tentang “tafsir” Pancasila. “Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam”. Demikian salah satu keputusan Munas Alim Ulama NU tersebut. Keputusan ini bersejarah. Sebelumnya, di kalangan umat Islam, bahkan internal NU masih pro dan kontra tentang asas tunggal Pancasila. Beredar juga beragam pendapat tentang tafsir-tafsir sila-sila Pancasila. Maka itu, diperlukan keputusan tentang Pancasila oleh NU. Namun, alim ulama NU memutuskan poin di atas bukan tidak memiliki dasar. Suatu ketika KH. Bisri Syansuri menghadap Presiden Soeharto dan bertanya: “Pak Presiden, apakah benar jika kami memahami Ketuhanan Yang Esa itu tauhid”? Presiden Soeharto menjawab: “Iya”. KH. Muhammad Isa Ansori berpendapat bahwa nilai ketuhanan menjadi asas filsafat Pancasila. Penjagaan Pancasila haruslah dengan cara mengaplikasikan sila pertama ke dalam sila-sila lainnya. Penafsiran Pancasila yang diputuskan Munas NU sesungguhnya pernah dikemukakan oleh Bung Hatta. Pada 18 Agustus 1945, menjelang sidang PPKI untuk mengesahkan UUD 1945, Bung Hatta bertemu dengan beberapa pemimpin Islam. Dalam pertemuan itu, perwakilan Islam dapat menerima penghapusan “tujuh kata” yang tercantum dalam Piagam Jakarta, karena dua alasan yang diterima dan dikemukakan oleh Bung Hatta. Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan monoteisme tauhid dalam Islam. Kedua, demi menjaga kesatuan dan keutuhan wilayah negara yang baru diproklamasikan sehari sebelumnya. Selain itu, yang menjadi dasar keputusan Munas NU itu adalah Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya sebenarnya dijiwai oleh Piagam Jakarta. Mendiang Jendral Abdul Haris (AH) Nasution dalam sebuah pidato peringatan 18 Tahun Piagam Jakarta pada 22 Juni 1963 di Jakarta mengatakan, rumusan dasar negara muncul di antaranya karena inisiatif para alim ulama yang mengirimkan surat berisi usulan tentang bentuk dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi Indonesia merdeka. Surat yang dikirim dari berbagai alim ulama itu berjumlah 52 ribu surat yang terdaftar.

Komentar








Lihat episode lain
Buka semua fitur dengan download aplikasi Noice
Kunjungi App